Kamis, 06 November 2008

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996, TENTANG PANGAN

Undang-undang ini memuat ketentuan umum sebagai berikut:
1. Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan masyarakat. (Pasal 2).
2. Tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah :
a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia,
b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab,
c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (pasal 3).
3. Definisi mengenai berbagai hal antara lain sebagai berikut:
 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. (Pasal 1 angka 1).
 Yang dimaksud dengan pangan olahan adalah makanan dan atau minuman hasil proses dengan cara metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan pangan. (Pasal 1 angka 2).
 Pangan olahan ini mencakup pangan olahan yang siap dikonsumsi untuk manusia maupun pangan olahan setengah jadi, yang digunakan selanjutnya sebagai bahan baku pangan. (Penjelasan pasal 1 angka 2).
Selanjutnya Undang-undang ini mengatur antara lain mengenai :
1. Keamanan pangan,
2. Mutu dan gizi pangan,
3. Label dan iklan pangan,
4. Pemasukan dan pengeluaran pangan ke dalam dan dari wilayah Indonesia,
5. Tanggung jawab industri pangan
6. Peran serta masyarakat,
7. Pengawasan,
8. Ketentuan pidana.
Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. (Pasal 1 angka 4).
Ketentuan mengenai keamanan pangan meliputi sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, rekayasa genetika dan iradiasi pangan, kemasan pangan, jaminan mutu dan pemeriksaan laboratorium, dan pangan tercemar.
Sanitasi Pangan
Sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan dan minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia (Pasal 1 angka 9). Dalam pengertian persyaratan sanitasi sudah tercakup pula persyaratan higienis. [Penjelasan Pasal 4 angka (1)].
Ketentuan mengenai sanitasi pangan adalah:
 Kewenangan pemerintah untuk menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan. [pasal 4 ayat (1)].
 Persyaratan yang ditetapkan merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan. [pasal 4 ayat (2)].
 Persyaratan minimal adalah persyaratan yang sekurang-kurangnya wajib dipenuhi dalam menjaga keamanan pangan dalam rangka melindungi kesehatan dan jiwa manusia [penjelasan pasal 4 ayat (2)].
 Yang dimaksud dengan produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. (pasal 1 angka 5).
 Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan pangan dari suatu tempat dengan cara atau sarana angkutan apapun dalam rangka produksi, peredaran dan atau perdagangan pangan. (pasal 1 angka 6).
 Kewajiban bagi sarana dan atau prasarana yang digunakan secara langsung atau tidak langsung digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran untuk memenuhi persyaratan sanitasi. [pasal 5 ayat (1)].
 Penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan serta penggunaan sarana dan prasarana dilakukan sesuai dengan persyaratan sanitasi. [pasal 5 ayat (2)].
 Kewajiban setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan dan proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan untuk :
 memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia.
 menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala,
 menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi (pasal 6).
 Yang dimaksud dengan “setiap orang yang bertanggung jawab” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melakukan, berkepentingan, atau memperoleh manfaat dari kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan, baik milik sendiri maupun menyewa sarana dan prasarana yang diperlukan.
 Ketentuan ini juga berlaku bagi mereka yang diberi tanggung jawab di bidang sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan, baik melalui ikatan kerja, kontrak maupun kesepakatan lain.
 Selain itu ditegaskan bahwa kewajiban untuk selalu menjaga tingkat kebersihan dan kesehatan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan tidak hanya terbatas pada pemenuhan perrsyaratan yang ditetapkan pemerintah, tetapi juga dalam arti yang lebih luas sehingga mencakup pula persyaratan keamanan dan atau keselamatan manusia dengan batasan yang objektif, faktual, dan berdasarkan akal sehat.
 Setiap orang yang melakukan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan agar menyusun dan melaksanakan program pemantauan sanitasi secara teratur, sesuai dengan keperluan, untuk menjamin keamanan dan atau keselamatan manusia (Penjelasan pasal 6). Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 480.000.000,- (pasal 59 huruf a).
 Kewajiban orang perorangan yang menangani secara langsung dan atau berada langsung dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan untuk memenuhi persyaratan sanitasi. (pasal 7).
 Yang dimaksud dengan “orang perorangan” dalam ketentuan ini adalah mereka yang secara langsung menangani atau terlibat dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan. Ketentuan ini diperlukan karena risiko pencemaran pangan tidak jarang diakibatkan oleh kelalaian orang perseorangan tersebut. Ketentuan ini juga berlaku bagi mereka, yang meskipun tidak menangani langsung, tetapi berada langsung dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan, seperti mandor, satuan pengamanan, atau pengunjung produsen/pabrik pangan.
 Persyaratan sanitasi dalam kaitannya dengan “orang perseorangan” ini tidak hanya terbatas pada pola atau standar perilaku yang memenuhi persyaratan sanitasi, tetapi juga termasuk kesehatan orang perseorangan tersebut karena tidak jarang penyakit manusia ditularkan melalui pangan yang diedarkan (penjelasan pasal 7). Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 480.000.000,- (pasal 59 huruf b).
 Larangan bagi setiap orang untuk menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi (pasal 8). Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini bila dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (pasal 55 huruf a).
 Terhadap pelanggaran karena kelalaian dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp.120.000.000,- (pasal 56 huruf a). Ancaman pidana tersebut ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan, atau ditambah sepertiga apabila menimbulkan kematian (pasal 57).
Bahan Tambahan Pangan
Yang dimaksud dengan “bahan tambahan pangan” adalah bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental.
Ketentuan mengenai bahan tambahan pangan adalah:
 Larangan bagi setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan, untuk menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau menggunakan bahan tambahan pangan yang melampau ambang batas maksimal yang ditetapkan. [pasal 10 ayat(1)].
 Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan karena hal tersebut memang lazim dilakukan. Namun, penggunaan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan secara berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan, karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut.
 Bahan tambahan pangan yang dilarang antara lain asam borat (boric acid) dan senyawanya, sedangkan bahan tambahan yang dibolehkan dengan batas ambang maksimal, antara lain, siklamat. (penjelasan pasal 10).
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini bila dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,- (pasal 55 huruf b).
 Terhadap pelanggaran karena kelalaian dipidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp.120.000.000,- (pasal 56 huruf b). Ancaman pidana tersebut ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan, atau ditambah sepertiga bila menimbulkan kematian. (pasal 57)
 Kewajiban pemerintah untuk menetapkan bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal penggunaannya. [Pasal 10 ayat (2)].
 Memeriksa terlebih dahulu keamanan dan penggunaan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah (pasal 11).
 Sangsi terhadap penggunaan suatu bahan tambahan pangan dan mengedarkan pangan tersebut secara bertentangan dengan ketentuan ini adalah pidana paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,- (pasal 58 huruf a)
Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Yang dimaksud dengan rekayasa genetika pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk menghasilkan produk pangan yang lebih unggul. (pasal 1 butir 12).
Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. (pasal 1 butir 11).
Ketentuan mengenai rekayasa genetika dan iradiasi pangan adalah :
 Kewajiban setiap orang yang memproduksi pangan, menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika untuk terlebih dahulu memeriksa keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. [pasal 13 ayat (1)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf b).
 Kewenangan pemerintah untuk menetapkan:
 Persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan.
 Persyaratan pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika [pasal 13 ayat (2)]
 Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan berdasarkan izin dari pemerintah. Kegiatan atau proses produksi yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau metode iradiasi wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan. (pasal 14).
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf c).
Kemasan Pangan
Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
Ketentuan mengenai kemasan pangan adalah :
 Larangan bagi setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan untuk menggunakan bahan apapun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. [pasal 16 ayat (1)]
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas bila dilakukan dengan sengaja adalah dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,- (pasal 55 huruf c)
 Terhadap pelanggaran karena kelalaian dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp.120.000.000,- (pasal 56 huruf c). Ancaman pidana atas pelanggaran tersebut ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiga apabila menimbulkan kematian. (pasal 57).
 Untuk menghindari terjadinya kerusakan dan atau pencemaran, pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara pengemasan yang benar. [pasal 16 ayat (2)].
 Kewenangan Pemerintah untuk menetapkan :
 Bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan
 Tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan. [pasal 16 ayat (3)
 Sangsi terhadap pelanggaran pelaksanaan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan sebagaimana ketentuan di atas meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh pemerintah adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 480.000.000,- (pasal 59 huruf c).
 Kewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu keamanan pangan yang digunakan sebagai kemasan pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia. Penggunaannya bagi pangan yang diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah. (pasal 17). Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,- (pasal 58 huruf d).
 Larangan bagi setiap orang untuk membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan, kecuali untuk pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar yang lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut. (pasal 18).
 Yang dimaksud dengan “kemasan akhir pangan “ adalah kemasan final terhadap produk pangan yang lazim dilakukan pada tahap akhir proses atau kegiatan produksi yag siap diperdagangkan bagi konsumsi manusia.
 Ketentuan ini bersifat preventif karena tidak jarang suatu produk pangan tercemar oleh bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia karena tindakan pengemasan kembali tersebut.
 Pengadaan pangan dalam jumlah besar yang lazimnya tidak dikemas secara final dan dimaksudkan untuk diperdagangkan (diecer) lebih lanjut dalam kemasan yang lebih kecil tidak tunduk pada ketentuan diatas.
 Kelaziman tersebut disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku bagi komoditas pangan yang bersangkutan atau kebiasaan masyarakat setempat (penjelasan pasal 18).
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,- (pasal 58 huruf e).
Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium
Ketentuan mengenai jaminan mutu dan pemeriksaan laboratorium adalah :
 Kewajiban bagi setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan untuk menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan pangan yang diproduksi. [pasal 20 ayat (1)].
 Sistem jaminan mutu merupakan upaya pencegahan yang perlu diperhatikan dan atau dilaksanakan dalam rangka menghasilkan pangan yang aman bagi kesehatan manusia dan bermutu, yang lazimnya diselenggarakan sejak awal kegiatan produksi pangan sampai dengan siap untuk diperdagangkan, dan merupakan sistem pengawasan dan pengendalian mutu yang selalu berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. [penjelasan pasal 20 ayat (2)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan butir di atas meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah adalah pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp.480.000.000,- (pasal 59 huruf d).
 Kewenangan Pemerintah untuk menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum diedarkan. [pasal 20 ayat (2)].
 Disamping sistem jaminan mutu yang diselenggarakan sendiri oleh setiap orang yang memproduksi pangan, maka upaya mewujudkan ketersediaan pangan yang aman dapat ditempuh melalui pengujian secara laboratoris atas pangan yang diproduksi.
 Persyaratan pemeriksaan laboratorium ini terutama diperuntukkan bagi pangan tertentu yang diperdagangkan, yang akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah. [Penjelasan pasal 20 ayat (2)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan butir di atas adalah dipidana paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf f)
 Pengujian secara laboratoris tersebut dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah. [pasal 20 ayat (3)].
 Laboratorium yang melaksanakan pengujian dimaksud harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan dan melaksanakan pengujian berdasarkan tata cara yang telah dibakukan.
 Ketentuan ini memberi kemungkinan bagi laboratorium-laboratorium yang bukan milik Pemerintah untuk melakukan pengujian itu. Misalnya, laboratorium milik setiap orang yang memproduksi pangan, atau yang merupakan bagian dari sistem jaminan mutu yang diterapkan, atau laboratorium milik pihak ketiga selama laboratorium tersebut telah diperiksa kelaikannya dan memperoleh akreditasi dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab baik secara teknis perlengkapan laboratorium tersebut maupun berkenaan dengan pemenuhan persyaratan lain berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. [penjelasan pasal 20 ayat (3)].
 Penetapan dan penerapan sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan. [pasal 20 ayat (4)]
 Pelaksanaan persyaratan jaminan mutu dan pengujian secara laboratoris ditetapkan secara bertahap disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, antara lain untuk proses produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Penerapan persyaratan jaminan mutu dan pengujian secara laboratoris ditetapkan secara bertahap disesuaikan dengan perkembangan sistem pangan serta kesiapan peraturan pelaksanaan yang dikaitkan pula dengan pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kemampuan, khususnya pengusaha menengah dan kecil, termasuk pengusaha pangan olahan informal dan tradisional. [penjelasan pasal 20 ayat (4)].
Pangan Tercemar
Ketentuan mengenai pangan tercemar adalah :
 Larangan bagi setiap orang untuk mengedarkan :
 Pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan jiwa manusia,
 Yang dimaksud dengan “merugikan kesehatan” adalah dampak yang timbul akibat bahan beracun atau bahan lain dalam tubuh yang dapat menganggu penyerapan senyawa atau zat gizi ke dalam darah, tetapi tidak membahayakan kesehatan.
 Yang dimaksud dengan “membahayakan kesehatan” adalah dampak yang timbul akibat adanya bahan beracun atau berbahaya seperti residu pestisida, mikotoksin, logam berat, hormon, dan obat-obatan hewan.
 Pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan,
 Pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan,
 Pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia,
 Yang dimaksud dengan “bahan yang kotor” adalah bahan yang bercampur dengan kotoran seperti tanah, pasir, atau bahan lain;
 Yang dimaksud dengan “bahan yang busuk” adalah bahan yang bentuk, rupa, atau baunya sudah tidak sesuai dengan keadaan normal bahan tersebut;
 Yang dimaksud dengan “bahan yang tengik” adalah bahan yang bau atau aromanya sudah berbeda dari bau normal yang antara lain diesebabkan oleh terjadinya proses oksidasi;
 Yang dimaksud dengan “bahan yang terurai” adalah bahan yang rupa atau bentuknya telah berubah dari keadaan normal;
 Yang dimaksud dengan “bahan yang mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit” adalah bahan nabati atau hewani yang mengandung penyakit yang dapat menular kepada manusia, misalnya ikan, atau udang yang mengandung bibit penyakit kolera atau daging yang mengandung cacing;
 Yang dimaksud dengan “bangkai” adalah bahan hewani yang mati secara alamiah atau matinya tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi sebagai pangan, misalnya ayam yang mati bukan karena sengaja dipotong untuk dikonsumsi sebagai pangan.
 Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan ini harus senantiasa memperhatikan fakta yang ditemukan, tolak ukur objektif dalam menentukan tingkat kelayakan pangan sebagai makanan dan atau minuman yang dikonsumsi manusia, dan keamanan terhadap kesehatan dan jiwa manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut. [penjelasan pasal 21 huruf d)
 Pangan sudah kadaluarsa. (pasal 21)
 Sangsi terhadap ketentuan butir di atas bila dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,- (pasal 55 huruf d)
 Terhadap pelanggaran karena kelalaian dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.120.000.000,- (pasal 56 huruf d). Ancaman pidana atas pelanggaran tersebut ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiga apabila menimbulkan kematian. (pasal 57)
 Kewenangan Pemerintah untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan dengan:
 Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan,
 Mengatur atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan, cara, metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan kesehatan,
 Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian pangan. (pasal 22)
Mutu dan Gizi Pangan
Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. (pasal 1 angka 13).
Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (pasal 1 angka 14).
Mutu Pangan
Ketentuan mengenai mutu pangan adalah :
 Kewajiban bagi pangan tertentu yang diperdagangkan untuk memenuhi standar mutu pangan yang ditetapkan oleh Pemerintah. (pasal 24)
 Yang dimaksud dengan “standar mutu pangan” dalam ketentuan ini adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan tentang mutu pangan, misalnya dari segi bentuk, warna, atau komposisi yang disusun berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek lain yang terkait.
 Standar mutu pangan tersebut mencakup baik pangan olahan maupun pangan yang tidak diolah.
 Dalam pengertian yang lebih luas, standar yang berlaku bagi pangan mencakup berbagai persyaratan keamanan pangan, gizi, dan persyaratan lain dalam rangka menciptakan perdagangan pangan yang jujur, misalnya, persyaratan tentang label dan iklan. Berbagai standar tersebut tidak bertentangan satu sama lain atau berdiri sendiri, tetapi justru merupakan satu kesatuan yang bulat, penjabarannya lebih lanjut diatur oleh Pemerintah. Pangan tertentu yang diperdagangkan yang dimaksud pada ayat ini adalah produk pangan yang atas pertimbangan manfaat, nilai gizi dan aspek perdagangan harus memenuhi standar mutu tertentu.
 Penetapan standar mutu pangan oleh Pemerintah, merupakan upaya standarisasi mutu pangan yang diedarkan, dan terutama berguna sebagai suatu tolak ukur yang objektif bagi pangan yang diedarkan.
 Hal ini tidak berarti bahwa standar mutu yang ditetapkan oleh kalangan yang berkepentingan di bidang pangan tidak diakui keberadaannya, misalnya, yang ditetapkan oleh asosiasi dibidang pangan, terutama apabila standar mutu tersebut lebih tinggi daripada standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.
 Disisi lain, pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk mewajibkan pemenuhan standar mutu yang ditetapkan bagi produksi pangan tertentu yang diperdagangkan, terutama dalam rangka mewujudkan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Dalam melaksanakan ketentuan ini Pemerintah memperhatikan masukan, saran, atau perkembangan dari masyarakat. Hal ini penting, mengingat masyarakat adalah pihak yang merasakan akibat langsung dari diberlakukannya aturan hukum dibidang pangan, baik masyaraakat yang memproduksi pangan maupun yang mengkonsumsi pangan (penjelasan pasal 24).
 Kewenangan pemerintah untuk menetapkan peryaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan dan diterapkan secara bertahap berdasarkan jenis pangan dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan. (pasal 25)
 Sertifikasi adalah syarat-syarat yang dipenuhi dalam proses pengawasan mutu pangan yang penyelenggaraannya dapat dilakukan secara laboratoris atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Sertifikasi mutu diberlakukan untuk lebih memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa pangan yang dibeli telah memenuhi standar mutu tertentu, tanpa mengurangi tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan untuk memenuhi ketentuan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. (penjelasan pasal 25)
 Larangan bagi setiap orang untuk memperdagangkan:
 pangan tertentu yang tidak memenuhi standar mutu pangan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya,
 pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan,
 pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan. (pasal 26).
 Sangsi terhadap ketentuan butir di atas bila dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,- (pasal 55 huruf e, f, dan g).
Gizi Pangan
Ketentuan mengenai gizi adalah :
 Kewenangan pemerintah untuk menetapkan :
 Kebijakan di bidang gizi bagi perbaikan status gizi masyarakat dan menyelenggarakannya, [pasal 27 ayat(1)]
 Persyaratan khusus mengenai komposisi pangan untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan, [pasal 27 ayat (2)],
 Persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat [pasal 27 ayat(3)]
 Pangan olahan tertentu serta cara pengolahan sehingga dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan. [Pasal 28 ayat (2)]
 Kewajiban bagi setiap orang yang memproduksi pangan untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan, dan perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan dalam hal terjadinya kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat untuk memenuhi persyaratan tentang gizi. [pasal 27 ayat (4)].
 Pangan olahan tertentu adalah komposisi bagi kelompok tertentu, misalnya, susu formula untuk bayi, pangan yang diperuntukan bagi ibu hamil atau menyusui, pangan khusus bagi penderita tertentu, atau pangan lain yang sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kualitas kesehatan manusia.
 Yang dimaksud dengan “komposisi” adalah kandungan zat-zat serta jumlahnya, yang harus terdapat di dalam pangan tersebut, baik berupa zat gizi maupun non gizi. [penjelasan pasal 27 ayat (2)].
 Perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat, yang lazimnya dilakukan untuk sementara waktu dan atau di wilayah tertentu sampai keadaan tersebut dapat ditanggulangi.
 Pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kemungkinan besar dapat digunakan sebagai sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat dengan cara menambahkan zat gizi yang diperlukan dalam jenis pangan tersebut. [pasal 27 ayat (3)].
 Kandungan gizi dalam pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Olah karena itu, peranan setiap orang yang memproduksi pangan tersebut dalam rangka perrbaikan status gizi masyarakat menjadi penting. [penjelasan pasal 27 ayat (4)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan butir di atas adalah dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf g).
 Kewajiban setiap orang untuk memproduksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan untuk menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan [pasal 28 ayat (1)].
Label dan Iklan Pangan
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan dalam pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. (pasal 1 angka 15).
Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan. (pasal 1 angka 16).
Ketentuan mengenai label dan iklan pangan:
 Kewajiban setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan untuk mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. [pasal 30 ayat (1)].
 Ketentuan ini berlaku bagi pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan (prepackaged), tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus dihadapan pembeli. [penjelasan pasal 30 ayat (1)].
 Pada label sekurang-kurangnya memuat nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. [pasal 30 ayat (2)].
 Kewenangan Pemerintah untuk menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan. [pasal 30 ayat (3)].
 Keterangan pada label ditulis, dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat dan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. [pasal 31 ayat (1) & (2)].
 Penggunaan istilah asing dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya, atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri. [pasal 31 ayat (3)].
 Yang dimaksud dengan istilah asing adalah bahasa, angka atau huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf latin serta istilah teknis atau ilmiah, misalnya rumus kimia.
 Yang dimaksud dengan “keterangan yang menyesatkan” adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. [penjelasan pasal 33 ayat (1)].
 Larangan bagi setiap orang untuk memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan atau menyesatkan tentang pangan yang diperdagangkan pada label dan iklan. [pasal 33 ayat (2)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf i).
 Kewenangan Pemerintah untuk mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan. [pasal 33 ayat (3)].
 Tanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut dari setiap orang yang menyatakan pada label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu [pasal 34 ayat (1)].
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf j)
 Kewajiban untuk memuat keterangan tentang peruntukkan, cara penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap kesehatan manusia pada label pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi, anak berumur di bawah lima tahun, ibu sedang hamil atau menyusui. [pasal 34 ayat (2)]
 Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas, meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp.480.000.000,- (pasal 59 huruf e).
Pemasukan dan Pengeluaran Pangan ke dan dari Wilayah Indonesia
Kewajiban bagi setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonsia untuk diedarkan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang ini & peraturan pelaksanaannya. [pasal 36 ayat (1)]
Larangan bagi setiap orang untuk memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. [pasal 36 ayat (2)]
Sangsi terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf k).
Kewenangan Pemerintah untuk menetapkan persyaratan bagi pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia bahwa :
 pangan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
 pangan telah dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan;
 pangan telah terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu dan gizi pangan. (pasal 37)
Tanggung jawab dari setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan terhadap keamanan, mutu, dan gizi pangan. (pasal 38).
Kewenangan Pemerintah untuk menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa dari segi keamanan, mutu dan persyaratan label, dan gizi pangan. (pasal 39).
Tanggung Jawab Industri Pangan
Tanggung jawab badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut [pasal 41 ayat (1)].
Hak bagi orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal dunia sebagai akibat langsung mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan untuk mengajukan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut. [pasal 41 ayat (2)].
Kewajiban bagi badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut untuk mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan bila terbukti bila pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, kecuali dapat dibuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian. [pasal 41 ayat (3) & (4)].
Besarnya ganti rugi tersebut setinggi-tingginya sebesar Rp.500.000.000,- untuk setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan. [pasal 41 ayat (5)].
Bila badan usaha dan atau orang-perseorangan dalam badan usaha tersebut tidak diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia, maka kewajiban ganti rugi diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. (pasal 42).
Apabila kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit, Pemerintah berwenang mengajukan ganti rugi untuk kepentingan orang yang mengalami kerugian dan atau musibah. [pasal 43 ayat (1) & (2)].
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta perundang-undangan lain yang berlaku. (pasal 51).
Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan dan atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem pangan. (pasal 52).
Pengawasan
Dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan, Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undang-undang ini. [pasal 53 ayat (1)].
Wewenang Pemerintah dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan :
 Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan pangan;
 Menghentikan, memeriksa dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut dicurigai digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
 Membuka dan meneliti setiap kemasan pangan.
 Memeriksa setiap buku dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
 Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan dokumen lain sejenis.
Pejabat pemeriksa dalam melakukan tugas pemeriksaan dilengkapi dengan surat perintah [pasal 53 ayat (3)].
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan [pasal – ayat (4)]
Barangsiapa menghambat proses pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.360.000.000,- (pasal 58 huruf l).
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, pemerintah berwenang mangambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini.
Tindakan administratif dapat berupa :
a. Peringatan secara tertulis
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia,
c. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia,
d. Penghentian produksi untuk sementara waktu,
e. Pengenaan denda paling tinggi Rp.50.000.000,- dan atau
f. Pencabutan izin produksi dan izin usaha (pasal 54)